PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Dagang
Apa yang dimaksud dengan hukum dagang? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu kiranya di kemukakan di sini bahwa selain istilah hukum dagang dalam berbagai kepustakaan, ditemui juga istilah hukum perniagaan[1]. Apabila di telusuri secara seksama apa yang dibahas dalam kedua istilah tersebut, yakni hukum perniagaan dan hukunm dagang, pad dasarnya mengacu pada norma-norma yang diatur dalam KUHD. Sedangkan dalam KUHD sendiri tiadk di jelaskan apa yang dimaksud dngan hukum perniagaan dan hukum dagang. Dalam pasal 1 KUHD hanya disebutkan Kitab Undang-Undang Huku Perdata tidak diadakan penyimpangan kasus maka beelaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam kitab undang-undang ini.
Dari apa yang dijelaskan dalam pasal 1 KUHD di atas, dapat diketahui bahwa keterkaiatan antara hukum perdata dan hukum dagang demikian erat. Keterkaitan ini dapat dilihat apa yang dijabarkan dalam KHUPdt khususnya Buku III tentang perikatan. KUHD sendiri dibagi dalam dua buku yaitu buku pertama tentang dagang pada umumnya (pasal 1-308) dan buku kedua tentang hak-hak dan kewajiban yang terbit dari pelayaran (pasal 309-754). Tidak diberikannya defenisi apa yang di maksud dengan hukum dagang, barngkali pembentuk undang-undang berasumsi rumusan atau defenisi hukum dagang sudah tercantum dalam pengertian perdagangan[2] atau bisa juga asumsinya rumusan tentang hukum dagang diserahkan pendapat para ahli hukum sendiri.
Oleh karena itu, untuk memahami makna hukum dagang, berikut dikutip berbagai pengertian hukum dagang yang dikemukakan oleh para ahli hukum yaitu sebagai berikut:
1) Achmad Ichsan mengemukakan:
“hukum dagang adalah hukum yang mengatur soal-soal perdagangan, yaitu soal-soal yang timbul karena tingkah laku manusia dalam perdagangan[3].
2) R. Soekardono mengemukakan:
”hukum dagangadalah bagian dari hukum perdata pada umumnya, yakni yang mengatur masalah perjanjian dan perikatan yang diatur dalam buku III Burgerlijke Wetboek (BW) dengan kata lain, hum dagang adalah himpunan peraturan peraturan yang mengatur seseorang dengan orang lain dalam kegiatan perusahaan yang terutama terdapat dalam kodifikasi KUHD dan KUHPdt. Hukum dagang dapat pula dirumuskan adalah serangkaian kaidah yang mengatur tentang dunia usaha atau bisnis dan dalam lalu lintas perdagangan[4].
3) Fockema Andreae mengemukakan:
“hukum dagang (Handelsrecht) adalah keseluruhan dari atuaran hukum mengenai perusahaan dalam lalu lintas perdagangan, sejauh mana diatur dalam KUHD dan beberapa undang-undang tambahan. Di Belanda hukum dagang dan hukum perdata dijadikan satu buku, yaitu Buku II dalam BW baru Belanda[5].
4) H.M.N. Purwosutjipto mengemukakan:
“Hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan[6].
5) Sri Redjeki Hartono mengemukakan:
“Hukum dagang dalam pemahaman konvensional merupakan bagian dari bidang hukum perdata atau dengan perikatan lain selain disebut bahwa hukum perdata dalam pengertian luas, termaksud hukum dagang merupakan bagian-bagian asas-asas hukum perdata pada umumnya[7].
6) J. van Kan dan J. h. Beekhuis, mengemukakan:
“Hukum perniagaan adalah hukum mengenai perniagaan adalah rumpunan kaidahyang mengatur secara memaksa perbuatan-perbuatan orang dalam perniagaan. Perniagaan secara yuridis berarti, membeli dan menjual dan mengadakan berbagai perjanjian, yang mempermudah dan memperkembangkan jual beli. Dengan demikian, hukum perniagaan adalah tidak lain dari sebagian dari hukum perikatan dan bahkan untuk sebagian besar hukum perjanjian[8].
7) M. N. Tirtaamidjaja mengemukakan:
“Hukum perniagaan adalah hukum yang mengatur tingkah laku orang-orang yang turut melkukan perniagaan. Sedangkan perniagaan adalahpemberian perantaraan antara produsen dan konsumen; membeli dan menjual dan membuat perjanjian yang memudahkan dan memajukan pembelian dan penjulan itu. Sekalipun sumber utama hukum perniagaan adalah KUHD akan tetapi tidak bisa dilepaskan dari KUHPdt[9].
8) KRMT. Titodiningrat mengemukakan:
“Hukum dagang merupakan bagian dari hukum perdata yang mempunyai atuaran-aturan mengenai hubungan berdasarkan ats perusahaan. Peraturan-peraturan mengenai perusahaan tidak hanya dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) melainkan juga berupa Undang-Undang di luarnya. KUHD dapat disebut sebagai perluasan KUHPdt[10].
9) Ridwan Khairandy (dkk.) mengemukakan:
“sebagai akibat adanya kodifikasi hukm perdata dalam KUHPdt dan hukum dagangdalam KUHD, maka di negara-negara yang menganut hukum sipil (kontinental) termaksud Indonesia dianut bahwa hum dagang merupakan bagian dari hukum perdata. Lebih tegas lagi dikatakan bahwa hukum dagang merupaka hukum perdata khusus. Dalam kepustakaan hukum anglo saxon atau common law khususnya anglo american, hukum bisnis bukan merupakan cabang atau bagian tunggal hukum tertentu[11].
Dalam rangka untuk memperkaya wawasan tentang pengertian hukum dagang (commercial law), berikut dikutip beberapa pemikiran yang dikemukakan oleh para ahli yang berasal dari negara yang menganut sistem hukum common law, antara lain:
1) John E. Murray Jr. dan Harry M. Flechther, mengemukakan:
“Traditionally called the law of ‘sales’, for much of the last century the focus was on sale of tangible, moveable (goods) as governed by article 2 of the Unifrom Commercial Code (UCC)[12].
2) Clayton P. Gillette dan Steven D. Walt, Mengemukakan:
“Sales law involves legal doctrines that regulate the relationship between the paties involved in an exchange of goods for a price. As a general matter, sales law only addresses transfer of tangible personal property, not real estate or intangibles such as intellectual property rights, Sales law, is an subset of contract law[13].
3) Iwan R. Davies, mengemukakan:
“The concern of commercial law should focus upon the commercial sense of the transaction and the parties them selves. In this regart, it is important to refer to the principles of commercial law which are essentially tools in serving the needs of the bussiness community[14].
Dari berbagai penghasilan hukum dagang sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli hukum di atas tampak bahwa, ada satu benang merah yang dapat dijadikan sebagai titik awal untuk melihat apa makna hukum dagang. Benang merah yang dimaksud adalah pada hakikatnya hukum dagang sebagai suatu norma yang digunakan dalam menjalankan suatu kegiatan dunia usah. Dengan kata lain, hukum dagang adalah serangkaian norma yang timbul khusus dalam dunia usaha atau kegiatan perusahaan. Norma tersebut dapat bersumber, baik pada aturan hukum yang sudah dikodifikasikan, yaitu dalam KUHPdt dan KUHD maupun diluar kodifikasi. Perlu juga dikemukakan disini, bahwa hal yang diatur dalam kodifikasi tersebut secara parsial telah diatur dalam undang-undang tersendiri, seperti halnya tentang perseroan terbatas, sudah diatur dalan undang-undang tersendiri. Di sini lain perkembangan dunia usaha sendiri berkembang demikian cepat sehingga memerlukan pengaturan tersendiri yang sebelumnya belum diatur dalam kedua kodifikasi tersebut.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Emmy Pangaribuan Simanjuntak, tidak semua materi hukum dagang[15] diatur secara lengkap dalam KUHD, sebab masih ada juga materi hukum dagangyang diatur di luar KUHD. Jika dibandingkan antara apa yang diatur di dalam KUHD dan kenyataan dalam praktik, tidaklah berlebihan, jika dikemukakan banyak ketentuan yang diatur dalam KUHD tidak sesuai lagi dengan perkembangan dalam praktik. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat perkembangan dunia demikian cepat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika ketentuan tentang hukum dagang yang hanya mengandalkan kepada KUHD tidak memadai. Untuk itu, perlu dilakukan pembaharuan dalam hukum dagang pembaruan dalam bidang hukum dagang, tidak berarti penghapusan semua peraturan yang ada sekarang. Pembaharuan hukum dagang yang dimaksud di sini, dapat berarti :
1. Membuaat peraturan baru mengenai materi tertentu yang sama sekali belum pernah diatur.
2. Penghapusan beberapa ketentuan dalam suatu peraturan yang telah ada yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dalam peraktik.
3. Menambah atau melengkapi suatu peraturan yang telah ada dengan satu atau beberapa ketentuan.
4. Penyesuaian atau harmonisasi peraturan nasional dengan peraturan internasional.
5. Mencabut peraturan yang telah ada dan menggantinya dengan peraturan baru;
6. Mencabut peraturan yang dipandang tidak perlu lagi[16].
B. HUBUNGAN ANTARA KUHD DAN KUHPdt
Dari uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, terlihat ada hubungan yang sangat erat antara hukum perdata dan hukum dagang atau tepatnya antara KUHPdt dan KUHD. Hubunganya yang kait-mengait ini dalam tataran teoretis disebut KUHPdt sebagai ketentuan umum (genus) dalam mengatur hubungan dunia usaha khususnya yang terkait dengan perikatan, sedangkan KUHD merupakan ketentuan khusus (species) bagaimana memulai dan mengelola dunia usaha. Sebagaimana yang dikemukakan oleh J. Van Kan dan J. H. Beekhuis/Moh. O. Masdoeki, hukum perniagaan tidak lain adalah suatu tambahan pada hukum perdata dan hanya membicarakan suatu bahan khusus. Sifat kekhususan dari hukum perniagaan adalah merangkumi berbagai tindakan-tindakan perniagaan. Tiap tindakan menghendaki peraturan tersendiri yang bersifat memaksa. Untuk persiapan umum bagi perniagaan didirikanlah perusahaan. Zaman sekarang perusahaan didirikan oleh sekelompok orang, maka didirikanlah persekutuan. Bentuknya bisa firma, perseroan komanditer, dan sebagainya[17].
Denngan demikian, di sini tampak bahwa hubungan antara KUHPdt dan KUHD sangat erat. Hal ini terlihat dari Pasal 1 KUHD (lihat isi lengkap dalam kutipan sebelumnya). Demikian juga, dalam Pasal 15 KUHD disebutkan, segala perseroan tersebut dalam bab ini dikuasai oleh persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan oleh kitab ini dan oleh hukum perdata. Apa yang dijabarkan dalam kedua pasal tersebut, semakin menguatkan pendapat bahwa adanya hubungan yang sangat erat antara hukum perdata dan hukum dagang semakin jelas. Oleh karena itu, tidaklah berkelebihan, bila ada yang berpendapat bahwa apa yang dijabarkan dalam KUHD merupakan perluasan dari KUHPdt khususnya apa yang diatur dalam Buku III. Jika demikian halnya, dalam hal ada ketentuan yang mengatur terhadap hal yang sama, berlaku asas “Lex Spesialis Derogat Legi Generali”, artinya ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan umum. Dengan kata lain, terhadap duunia usaha ataupun kegiatan dunia jika sudah diatur dalam KUHD, ketentuan KUHPdt tidak berlaku dan sebaliknya jika kegiatan dunia usaha belum diatur dalam KUHD, berlaku ketentuan KUHPdt.
Mengingat hubungan antara hukum perdata dari hukm dagang sangat erat, di negeri Belanda sebagai asal mula dari kedua kitab tersebut kini dijadikan dalam satu kitab yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Baru (Het Niewe Burgerlijke Wetboek). Dalam dalam ketentuan baru ini materi hukum dagang diatur dalam Buku II tentang Rechtspersoon. Secara sistematika Buku II terdiri atas : Tilte 1: ketentuan umum; Title 2: Verenigingen (perkumpulan) yang terdiri dari : bagian 1: perkumpulan secara umum dan Bagian 2: Ketentuan khusus bagi perkumpulan koperasi dan asuransi saling menjamin; Title 3; Perseroan Terbatas; Title 4: Perseroan Terbatas Tertutup dengan tanggung jawab terbatas; Title 5: yayasan; Title 6: Perhitungan Tahunan; dan Title 7: Hak angket.
Hukum Dagang di Atur Dalam :
1. Kitab Undang-Undang Hukum dagang (KUHD), sebagai kondifikasi;
2. Peraturan-perturan lain di luar kondifikasi, misalnya :
a. S. 1927 – 262, mengenai pengangkutan dan kereta api (Bepalingen Vervoer Spoorwagen)
b. S. 1939 – 100 jo 101, mengenai pengankutan dengan kapal terbang di pedalaman dan perubahan-perubahan serta tambahan-tambahan selanjutnya.
c. S. 1941 – 101, mengenai perusahaan petanggungan jiwa;
d. PP No 27 tahun 1959, tentang pos internasional; dan lain-lain
3. Kebaisaan yang belaku[18]
Kodifikasi Hukum Perdata dan Dangang
Di Indonesia dulu berlaku dualisme dalam hukum, yakni hukum eropa dan hukum adat, tetapi sekarang harus di uasahakan mempunyai satu kesatuan hukum yang bersifat nasional, yakni sistem hukum Indonesia. Untuk mencapai kesatuan hukum ini Indonesia membutuhkan waktu yang lama, terutama dalam lapangan hkum perdata, dimana sekarang mesih berlaku berbagai macam hukum perdata, yakni : Hukum perdata bagi warga negara Indonesia yang mempergunakan KHUPER (B.W) dan hukum perdata bagi warga negara Indonesia yang mempergunakan hukum adat. Usaha untuk mempersatukan hukum perdata bagim seluruh warga negara Indonesia berjalan sangat .
Lain halnya dengan hukum perdata, maka hukum dagang Indonesia mempunyai nasip yang lebih baik, hukum perdata dagang di indonesia, dengan beberapa perubahan dan tambahan kirannya bisa di pakai bagi seluruh bangsa indonesia. Hukum ini dapat diterima oleh semua golongan yang dulu mempunyai hukumnya sendiri-sendiri.
C. KEBERATAN-KEBERATAN AZAS HUKUM DAGANG BAGI PEDAGANG
Azas bahwa hukum dagang hanya bagi pedagang saja itu mempunyai keberatan-keberatan yaitu :
1. Perkataan “barang” dalam pasal 3 (lama) KUHD berarti barang bergerak. Padahal dalam lalu lintas perniagaan sekarang, juga mengenai barang tetap menjadi objek dari perniagaan, misalnya tanah, kapal dan lain-lain.
2. Perbuatan “ menjual “ dalam pasal 3 (lama) KUHD, tidak termasuk dalam pengertian perbuatan perniagaan, tetapi menurut pasal 4 (lama) KUHD, perbuatan “menjual” itu termasuk dalam pengertian “peruatan periagaan” karena “ menjual” adalah perbuatan yang dilakukan oleh pedagang, sedang perbuatan-perbuatan pedagang termasuk dalam penilian perbuatan perniagaan.
3. Bila ada perselisihan antara pedagang dengan orang yang buka pedangan mengenai pelaksanaan perjanjian. Mengenai hal ini ada beberapa pendapat :
a. Menurut H. R. Hukum dagang baru berlaku, bila bagi tergugat perbuatan yang dipertengkarkn itu adalah perbuatan perniagaan. Keberatan atas pendapat ini ialah bahwa pendapat ini melanggar azas hukum dagang bagi pedagang, sebab bila tergugat adalah pedagang dan penggugat adalah bukan pedagang, maka disini akan berlaku hukum dagang. Jadi hukum dagang berlaku bagi orang bukan pedagang (penggugat), pendapat H. R. Ini melanggar azas hukum dagang bagi pedagang.
b. Timbul pendapat ke dua, yani hukum dagang berlaku kalau perbuatan yang disengketakan bagi kedua belah pihak merupakan perbuatan perniagaan.
c. Akirnya dalam “Handelsgesetzbuch” jerman, paragrap 345, menetapkan bahwa hukum dagang berlaku ila perbuatan yang diselisihkan itu merupakan perbuatan perniagaan bagi salah satu pihak. Dengan ketentuan ini maka lanaplah sifat kekhususan dari hukum dagang, danazas hukum dagang bagi pedagang tidak berlaku lagi. Jadi azas-azas hukum dagang bagi pedagang” tidak dapat dipertahankan lagi[19].
D. Perubahan dalam hukum dagang
Telah diuraikan bahwa azas hukum dagang bagi pedagang tidak dapat dipertahankan lagi. Dari sebab itu pembentuk Undang- undang telah mengadakan perubahan dalam hukum dagang dengan dikeluarkannya S. 1938 – 2076 yang mulai berlaku tanggal 17 juli 1938. Perubahan ini membuat dua hal, yakni :
1. Penghapusan pasal 2 sampai dengan 5 pada Bab 1, Buku I KUHD; Pasala-pasal tersebut mengenai pengertian hukum dagang dan pengertian perbuatan perniagaan. Jadi mulai tanggal 17 juli 1938 pengertan pedagang sebagai ang ditentukan dalam pasal-pasal 2 – 5 (lama) KUHD dihapus dan diganti dengan pengertian perusahaan;
2. Memasukkan istilah “perusahaan” dalam hukum dagang, dimana tercantum dalam pasal 6, 16, 36 dan lain-lain.
E. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM PERDATA
Pengertian Hukum Perdata
Apakah hukum perdata itu? Apabila kita membaca buku-buku tentang hukum, maka kita akan menemukan berbagai pendapat dari sarjana yang masing-masing berbeda atau ada berbagai macam defenisi tentang apa itu hukum perdata, namun perbedaan tersebut tidak berarti ada pertentangan yang tajam melalinkan menunjukkan adanya perbedaan penekanan, dan bukan menunkukkan perbedaan yang terlalu prinsipiil.
Menurut Subekti, hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan[20]. Lebih lanjut dikatakan bahwa perkataan “perdata” juga lajim dipakai sebagai lawan dari “hukum sipil” untuk hukum privat materiil, oleh karena istilah tersebut sering dipakai sebagai lawan dari “militer”, maka seyogianya dipakai istilah hukum perdata untuk segenap peraturan hukum privat materiil.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengatakan, hukum perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan antara warga negara perseorangan yang satu dengan warga negara perseorangan yang lain[21].
Wirjono Prodjodikoro mengatakan, hukum perdata adalah suatu rangkaian hukum antara orang-orang atau badan hukum satu sama lain tentang hak dan kewajiban. Lebih lanjut beliau mengatakan kebanyakakn para sarjana menganggap hukum perdata sebagai hukum yang mengatur kepentingan perseorangan (pribadi) yang berbeda dengan hukum publik sebagai hukum yang mengatur kepentingan umum (masyarakat)[22].
Sudikno Mertokusumo mengatakan, hukum perdata adalah hukum antaraperorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga dan di dalam pergaulam masyarakat. Pelaksanaannya diserahkan kepada pihka masing-masing pihak[23].
Asis Safieoedin menyebutkan, hukum perdata adalah hukum yang memuat peraturan dan ketentuan hukum yang meliputi hubungan hukum antar orang yang satu dengan yang lain (antar subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain) di dalam masyarakat dengan menitikberatkan kepada kepentingan perorangan[24]”
Vollmar menyebutkan, hukum perdata ialah aturan-aturan atau norma-norma, yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan-kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan yang lain dari orang-orang di dalam suatu masyarakat tertentu (i.e. negeri Belanda) terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas. Hukum Perdata disebut juga hukum sipil atau hukum privat[25].
Dari defenisi-defenisi tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan hukum perdata ialah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang / badan hukum yang satu denga orang / badan hukum yang lain di dalam masyarakat dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan (pribadi / badan hukum). Hukum perdatalah yang mengatur dan menentukan, agar dalam pergaulan masyarakat orang dapat saling mengetahui dan menghormati hak-hak dan kewajiban-kewajiban antarsesamanya, sehingga kepentingan tiap-tiap orang dapat terjamin dan terpelihara dengan sebaik-baiknya.
Sudikno Mertokusumo menyebutkan beberapa tolok ukur dari hukum perdata terutama dalam hal untuk membedakannya dengan hukuum publik (menurut pembagian klasik yang hinggaa kini masih digunakan ):
1. Dalam hukum publik salah satu pihak adalah pengusaha, sedangkan dalam hukum perdata kedua belah pihak adalah perorangan tanpa menutup kemungkinan bahwa dalam hukum perdata pun penguasa dapat menjadi pihak juga.
2. Peraturana hukum publik sifatnya memaksa, sedangkan peraturan hukum perdata pada umumnya bersifat melengkapi meskipun ada juga yang bersifat memaksa.
3. Tujuan hukum publik ialah melindungi kepentingan umum, sedangkan hukum perdata bertujuan melindungi kepentingan individu / perorangan. Kriteria ini ternyata mengalami perkembangan, baik hukum publik maupun hukum perdata bertujuan memberi perlindungan pada kepentingan umum.
4. Hukum publik mengatur hubungan hukum antara negara dengan individu, sedangkan hukum perdata mengatur hubungan hukum antara individu[26].
F. Hukum Perdata Dalam Arti Luas dan Hukum Perdata Dalam Arti Sempit
Hukum perdata dalam arti luas ialah bahan hukum sebagaimana tertera dalam kitab undang-undang hukum perdata (BW), kitab undang-undang hukum dagang (WvK) beserta sejumlah undang-undang yang di sebut undang-undang tambahan lainnya.
Hukum perdata dalam arti sempit ialah hukum perdata sebagaimana terdapat dalam BW.
Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum “privat materiil”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan. Hukum perdata ada kalanya dipakai dalam arti sempit, sebagai lawan dari hukum dagang[27].
Soedewi Masjchoen Sofwan mengatakan, bahwa hukum perdata tertulis sebagaimana di atur dalam BW. Sedangkan hukum perdata dalam arti luas termasuk di dalamnya hukum dagang[28].
Dengan kata lain, hukum perdata dalam arti luas ialah meliputi semua peraturan hukum perdata baik yang tercantum dalam BW maupun dalam KUHD dan undang-undanng lainnya. Hukum perdata mempunyai hubungan yang erat dengan hukum dagang. Hal itu tampak jelas dari isi ketetuan pasal 1 KUHD. Mengaenai hubungan kedua hukum tersebut di kenal adanya azas lex specialis derogat legi generali (hukum yang khusus: KUHD mengenyampingkan hukum yang umum: KUH perdata).
G. Hukum Perdata Materil dan Hukum Perdata Formal
Di dalam kuliah pengantar ilmu hukum Indonesia telah di jelaskan bahwa sistem hukum dapat dibagi menjadi beberapa golongan, hal tersebut disebabkan penggunaan berbagai kriteria yang merupakan prinsip dasar klasifikasi tersebut. Misalnya: dilihat dari segi saat berlakunya, hukum dibagi menjadi apa yang dinamakan ius constituutum dan ius constituendum; dilihat dari segi wujud maka di kenal ada hukum tertulis dan hukum tidak tertulis; dilihat dari segi isinya di kenal lex generalis dan lex specialist; dari segi klasik dikenal hukum publik dan hukum privat atau perdata;dari kriteria dikenal hukum materil dan hukum formil, silahkan Anda mempelajari kembali pengantar ilmu hukum, atau bacalah: modul pengantar ilmu hukum.
Hukum perdata di lihat dari segi fungsinya di bedakan menjadi:
- Hukum perdata Material ialah aturan-aturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata itu sendiri. Dengan kata lain, bahwa hukum perdata material mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum.
- Hukum perdata formal menentukan cara menurut mana pemenuhan hak-hak material tersebut dapat di jamin. Dengan kata lain, bahwa hukum perdata formal mengatur abagaimana tata cara seseorang menuntut hankya apabila di rugukan oleh orang lain. Hukum perdata formal mempertahankan hukum pedata materil, karena hukum perdata formal berfungsi menerapkan hukum perdata formal sering disebut dengan hukum acara perdata.
H. Hukum Perdata Di Indonesia
Sistem Hukum Perdata Di Indonesia
Hukum perdata di Indonesia sampai saat ini masih beraneka ragam (pluralistis), dimana masing-masing golongan, penduduk mempunyai hukum perdata sendiri kecuali bidang-bidang tertemtu yang sudah ada unifikasinya misal di bidang hukum perkawinan, hukum agraria. Tetapi apabila di tinjau lebih mendalam tampaklah bahwa unifikasi di bidang hukum tersebut belumlah tercapai sepenuhnya. Dengan kata lain, bahwa tujuan mewujudkan unifikasi di bidang hukum perdata belumlah tercapai sepenuhnya.
Untuk mengatasi hal tersebut sambil kita mengusahakan terciptanya suatu kodifikasi hukum nasional khususnya di bidang hukum perdata, maka atas dasar isi ketentuan pasal II Aturan peralihan UUD 1945, hukum perdata KUH perdata dan KUH Dagang masih tetap berlaku.
Apabila diliahat dari kenyaataan yang ada maka kiranya tepatlah apa yang di tulis oleh R.Abdoel Djamali berpendapat bahwa hukum perdata di Indonesia terdiri dari:
1. hukum perdata adat, hukum ini umumnya tidak tertulis dan berlaku dalam kehidupan masyarakat secara turun temurun serta di taati. Isinya mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat adat yang berkaitan dengan kepentingan perseorangan. Masyarakat adat yang di maksud di sini adalah kelompok sosial bangsa Indonesia (bumi putera).
2. hukum perdata Eropa, berbentuk tertulis dan berlakunya (untuk saat ini) di dasarkan pada aturan peralihan (pasal II aturan peralihan) UUD 1945. Isinya mengatur tentang hubungan hukum yang menyangkut mengenai kepentingan orang-orang Eropa dan bukan Eropa yang tunduk/menundukkan diri pada ketentuan tersebut.
3. hukum perdata yang bersifat nasional ini meruakan produk nasional, yaitu merupakan ketentuan hukum yang mengatur tentang kepentingan perorangan yang di buat berlaku untuk seluruh warga Negara Indonesia, misalnya UU No.5/1960 yg di kenal dengan sebutan UUPA, UU 1/1974 tentang perkawinan[29].
Suatu hal yang perlu disadari bersama bahwa hingga saat ini masih belum ada hukum perdata nasional secara menyeluruh sebagai satu sistem norma-norma hukum perdata, namun hal tersebut masih dalam usaha mewujudkannya. Itu semua mengandung arti pula bahwa hukum perdata yang berlaku di Indonesia masih menggunakan dasar hukum pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang dalam proses pengembangannya berdasarkan politik hukum sebagai tercantum dalam GBHN.
I. Asas-Asas Hukum Perdata
1. Anggapan individualistik ( prifaat ) terhadap hak eigendom (hak milik). Pasal 570 KUH perdata yang berisi mengandung pengertian bahwa yang berhak itu dapat menikmatinya dengan sepenuhnya dan menguasainya dengan sebebas-bebasnya. Menguasai benda dengan sebebas-bebasnya mengandung pengertian subjek dapat melakukan perbuatan hukum macam apa pun juga terhadap suatu benda. Selain itu subjek juga dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang meterial. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa hak milik itu merupakan dro it inviolable et sacre, yaitu hak yang tidak dapat di ganggu gugat. Tetapi pandangan yang demikian itu didalam perkembangan hukum ternyata tidak dapat di pertahankan lagi karena banyaknya peraturan yang bersifat membatasi misalnya :
a. Hukum tata usaha/hukum administrasi negara ternyata semakin banyak campur tangan dari penguasa terhadap hak milik.
b. Pembatasan oleh ketentuan hukum tetangga.
c. Penggunaan hak milik tidak boleh menimbulkan gangguan bagi hak orang lain.
d. Penggunaan nya tidak boleh menyalahgunaan hak.
Dengan berlakunya UU PA besar pula pengaruhnya terhadap individualistis, khususnya dalam kaitannya dengan objek hak milik yang berupa tanah. Menurut pasal 6 UU PA menunjukkan adanya hak kepemilikan tanah menunjukkan adanya perubahan fungsi dari sebagai hak yang mutlak artinya dapat menikmati dan dapat menguasai dengan sebebas-bebasnya.
2. Asas kebebasan berkontrak. Asas ini mengandung setiap orang dapat mengadakan perjanjian apa pun baik yang telah diatur maupun yang belun diatur dalam undang-undang. Dengan demikian setiap orang di berikan kebebasan untuk menentukan sendiri isi dan bentuk perjanjian yang dibuat dengan pihak lain, selain itu terlihat pula adanya perlindungan harkat dan martabat manusia, terhadap hak dan kewajiban dasar manusia.
3. Dalam lapangan hukum keluarga berlaku tatanan nominal dan ketidak cakapan dari seorang istri. Tetapi di dalam perkembangannya asas tersebut mengalami perubahan atau pergeseran yang disebabkan oleh keadaan masyarakat. Berlakunya SEMA 3/1963 membawa pengaruh besar terhadap asas tersebut.
4. Didalam perkawinan berlaku asas monogami yang berarti dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya di perbolehkan mempunyai seorang perempuan sebagai istrinya dan sebaliknya. Asas monogami diatur dalam pasal 3 ayat (1) UU 1/1974 membuka peluang untuk berpoligami asalkan tidak menyimpang dari asas monogami, tetapi syarat-syatar yang di penuhi tidaklah ringan. Syarat-syarat tersebut dimaksudkan untuk melindungi dirinya terhadap perlakuan suami yang dapat merugikan dirinya.
J. SEJARAH DAN SISTEMATIKA KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA/ BW DI INDONESIA
Sejarah terbentuknya kitab UU hukum perdata tidak dapat dilepaskan dari sejarah terbentuknya kitab UU hukum perdata Belanda dan Code Civil prancis. Hal ini bisebabkan karena indonesia waktu itu di jajah oleh belanda, sehingga tidak mustahil di bidang hukum banyak produk hukum dari pemerintah penjajah yang berlaku di indonesia. Tetapi belanda sendiri pernah menduduki beberapa waktu, sehingga dapat merasakan adanya pengaruh dari Code Civil.
Di perancis sendiri sejak tahun 50 SM berlakulah hukum romawi kuno bersamaan dengan hukum perancis kuno, keduanya saling mempengaruhi. Didalam perkembangannya dapat diketahui bahwa perancis berlaku dua hukum yaitu hukum kebiasaan prancis kuno yang berlaku diperancis utara dan di prancis selatan berlaku hukum romawi yang tertuang dalam Corpus Luris Civilis terdiri atas :
1. Codex Yustisiani : kumpulan UU yang telah dibukukan oleh para ahli hukum perintah kaisar romawi yang dianggap sebagai himpunan segala macam UU.
2. Pandecta: kumpulan pendapat ahli hukum romawi yang termahsyur.
3. Institutiones: lembaga-lembaga hukum romawi
4. Novelles: kumpulan UU yang dikeluarkan sesudah Codex keluar.
Pada abat ke XVIII dikeluarkan beberapa peraturan Perundang-undangan yang mengatur beberapa hal pada 21 maret 1804 di bentuk kodivikasi hukum perdata perancis. Kondivikasi tersebut kemudian diubah dan akhirnya di undang kan kembali dengan sebutan Code Civil napoleon tetapi penggunaan istilah tersebut hanya sebentar karena di ubah kembali menjadi code civil desvrancais.
Tahun 1811-1838 diadakan penambahan isi code civil perancis sesuai dengan keadaan di belanda dan akhirnya dinyatakan secara resmi sebagai kodivikasi resmi di bidang hukum perdata di belanda. Hal itu terjadi karena belanda dijajah perancis . pada masa kedudukan perancis di belanda telah ada usaha membuat kodivikasi yang menurut hukum belanda kuno, tetapi tidah terwujud. Pada tahun 1814 perancis meninggal kan belanda maka di bentuk panitia yang di pimpin MR. J.M. yang di beri tugas mempersiapkan kodivikasi hukum perdata tetapi usaha tersebut tidak berhasil kerana di tolak oleh wakil rakyat.dengan diprakarsai oleh Nicolai melalui perencanaan yang matang, kerja keras, maka pada tahun 1829 berhasil di kodovikasikan sebagai UU yang tadinya terpisah-pisah. Ternyata isi kodivikasi tersebut di pengaruhi pemikiran sarjana belgia, menyampingkan pikiran di bidang hukum.
Tahun 1830-1839 terjadi pemberontakan dan berakibat belanda terpisah dari belgia. Akhirnya pada tanggal 10 april 1838 kodivikasi hukum perdata (kitab UU hukum perdata belanda).
Pada 3 desember 1847 gubernur jendral hindia belanda menyatakan bahwa sejak 1 mei 1848 kitab UU hukum Perdata (BW/KUH perdata) berlaku di indonesia adalah meneladan kitab UU hukum perdata yang berlaku di belanda yang berisi aturan pemerintah hindia belanda terdiri atas 187 pasal dan berlaku sejak 1 januari 1962 dari pasal tersebut dapat diketahuai pedoman politik hukum pemerintah hindia belanda di indonesia dapat di ketehui pula kitab UU hukum perdata/ BW hanya berlaku bagi orang-orang tertentu.
Atas dasar kedua pasal tersebut dapat diketahui bahwa pada prinsipnya KUH Perdata/ BW hanya berlaku bagi golongan Eropa, golongan lain dapat menggunakan KUH Perdata asal mereka telah terlebih dahulu menundukkan diri. S.1917 Nomor 12 mengatur mengenai lembaga penundukkan diri, dan sebenarnya hanya ditujukan bagi Bumi Putera, sedang bagi golongan timur Asing hal itu hamper tidak relevan lagi, sebab S.1855 Nomor 79 menyatakan bahwa KUH Perdata/ BW berlaku terhadap golongan Timur Asing, kecuali hokum keluarga dan hokum waris.
Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi dasar hukum berlakunya KUH Perdata/BW (sebagai warisan pemerintah Belanda) di Indonesia hingga saat ini. Dengan demikian, dapat dicegah kekosongan hukum (Rechts Vacuum) khususnya yang mengatur lapangan keperdataan. Dengan menyadari kondisi/ kemampuan yang ada pada pemerintah sendiri , serta kelemahan yang ada pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata / KUH Perdata/ BW ternyata banyak yang tidak cocok lagi untuk diterapkan , serta sambil menunggu kodifikasi baru sebagai pengganti KUH Perdata/ BW , maka kiranya tepatlah langkah-langkah yang ditempuh pemerintah yaitu membenarkan penerapan KUH Perdata /BW di Indonesia. Secara yuridis formal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata / BW tetap berkedudukan sebagai Undang-Undang, sebab ia tidak pernah dicabut dari kedudukannya sebagai Undang-undang. Tetapi untuk kondisi sekarang ia tidak lagi sebagai KUH Perdata / BW yang bulat dan utuh seperti keadaan semula saat dikodifikasikan.
K. Sistematika Kitab Undang-undang Hukum Perdata/ BW di Indonesia
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata/ BW) di Indonesia mempunyai sistematika yang berbeda jika dibandingkan dengan sistematika dari kitab undang-undang hukum yang lainnya. Dengan adanya sistematika tersebut dimaksudkan agar mempermudah untuk memperoleh kejelasan tentang isinya sehinggga dapat membantu dalam penerapannya.
Apabila ditilik dari segi sistematikanya, ternyata hukum perdata di Indonesia mengenal dua sistematika[30]:
a. Menurut ilmu pengetahuan hukum, sistematika hukum perdata material terdiri :
1. Hukum tentang orang/hukum perorangan/ badan pribadi (Personen recht).
2. Hukum tentang keluarga /hukum keluarga (Familie recht).
3. Hukum tentang harta kekayaan / hukum harta kekayaan / hukum harta benda
(Vermogen recht).
4. Hukum waris (Erfrecht).
b. Sistematika hukum perdata menurut undang-undang, yaitu hukum perdata
sebagaimana termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata/BW
) yang terdiri :
Buku I : tentang orang (Van personen).
Buku II : tentang benda ( Van zaken).
Buku III : tentang perikatan (Van verbintenissen).
Buku IV : tentang pembuktian dan kadaluwarsa (Van bewijs en Verjaring).
Sistematika yang terakhir (b) tersebutlah yang dianut hukum perdata dan yang sekarang berlaku. Tetapi jika kita amati, tampaklah bahwa sistematika tersebut ternyata terpengaruh oleh sistematika Corpus Iuris Civilis yang dibuat pada zaman Kaisar Yustinianus di Romawi (abad ke-6), yang membagi dalam empat bagian.
L. ISITILAH PERUSAHAAN
Sebelum di cabut dalam KUHD dikenal istilah pedagang dan perbuatan dagang yang di atur dalam pasal 2 – 5 KUHD. Akan tetapi, sejak tahun 1938 pasal trsebut dicabut dengan Stb. 1938: 276 tanggal 17 Juli 1938. Adapun alasan pencabutan pasal tersebut, yakni :
- Pengertian barang tidak hanya barang bergerak, tetapi juga barang tidak bergerak sebagai objek perdagangan
- Pengertian menjual termasuk perbuatan perniagaan (dagang); dan
- jika timbul perselisihan antara pedagang dan bukan pedagang, sulit untuk menentukan hukum apa yang berlaku.
Dicabutnya pasal 2 – 5 dari KUHD, maka muncul istilah perusahaan dalam KUHD. Sebagai contoh istilah perusahaan dapat di temui dalam pasal 6 KUHD yang mengemukakan :
“Setiap orang yang menjalankan perusahaan wajib membuat pembukuan…..”
Pasal 16 KUHD mengemukakan :
“Firma adalah badan usaha yang menjalankan perusahaan….”
Pasal 36 KUHD:
“Tujuan perseroan diambil dari tujuan perusahaan…..” (garis bawah oleh penulis).”
Tidak seperti halnya ketika dalam KUHD dicantumkan istilah pedagang, pembentuk undang-undang memberi rumusan tentang perdagangan. Akan tetapi, untuk istilah perusahaan tidak ada rumusan apa yang dimaksud dengan perusahaan dalam KUHD. Rumusan perusahaan baru dapat di temui dalam penjelasan pembentuk undang-undang (Memorie van Teoligting, MvT). Sebagaimana yang dikemukakan oleh R. Soekardono dengan di terbitkannya Stb. 1983 Nomor 276, yang menghapuskan penegrtian perdagangan dan perbuatan dagang dimasukkan istilah perusahaan (bedrijf) dan perbuatan perusahaan (bedrijfshandelingen), tetapi tidak disertai dengan penjelasan resmi (authentiek interpretatie) tentang pengertian istilah perusahaan.
Tampaknya, perihal pengertian perusahaan diserahkan pada Jurisprudensi dan pandangan para ahli hukum.
Mengingat tidak adanya rumusan tentang perusahaan, para ahli hukum pun mencoba member pengertian tentang perusahaan yang hampir sama dengan rumusan yang dikemukakan dalam MvT. Pengertian tentang perusahaan tersebut, yakni :
1. dalam penjelasan pembentuk undang-undang (MvT) dikemukakan, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan, secara tidak terputus-putus, terang-terangan, dalam kedudukan tertentu dalam mencari laba.
2. Molengraaff mengemukakan, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak keluar, untuk mendapatkan penghasilan, memperdagangkan barang, menyerahkan barang, mengadakan perjanjian perdagangan.
3. Polak mengemukakan, perusahaan mempunyai dua cirri, yakni mengadakan perhitungan laba rugi dan melakukan pembukuan.
4. R. Soekardono mengemukakan, mengingat tidak ada rumusan perusahaan secara autentik, sebagai pedoman dalam menafsirkan pengertian perusahaan kiranya dapat dipakai jawaban Minester Van Justitie di depan parlemen kala itu, dalamkaitannya dengan perusahaan Pasal 2 – 5 WvK, yakni barulah dapat dikatakan ada perusahaan bila pihak yang berkepentingan bertindak secara tidak terputus-putus dan terang-terangan di dalam kedudukan tertentu untuk mendapatkan laba bagi dirinya sendiri.
Dari rumusan di atas, dapat diketahui unsur-unsur perusahaan, yakni melakukan kegiatan yang dilakukan :
1. Terus menerus;
2. Terang-terangan;
3. Dalamkualitas terentu;
4. Mencari untung; dan
5. Adanya perhitungan rugi atau laba[31].
Jika tidak memenuhi unsur ini, aktivitas yang dilakukan oleh seseorang tidak dapat dikualifikasikan sebagai perusahaan.
M. Pengertian Perseroan Terbatas
Dalam undang-undang No 1 tahun 1995 pengertian perseroan terbatas terdapatpada pasal 1 angka 1 yang berbunyi sebagai berikut :
Perseroan terbatas yang selanjudnya disebut perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetpkan undang-undang ini serta pelaksanaanya.
Seperti disebutkan, Perseroan adalah badan hukum, yang berarti perseroan merupakan subjek hukum dimana perseroan sebagai sebuah badan yang dapat dibebani hak dan kewajiban seperti halnya manusia pada umumnya. Oleh karena itu sebagai badan hukum, perseroan terbatas mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dengan kekayaan pengurusnya. Dalam melakukan kegiatan yang dilihat jangan perbuatan pengurusnya atau pejabatnya, tetapi yang harus dilihat adalah perseroannya, karena yang bertanggung jawab perseroan. Dalam hal ini tanggung jawab perseroan terbatas diwakili oleh direksinya (pasal 1 angka 4 UUPT).
Kemudian disebutkan pula perseroan didirikan berdasarkan perjanjian, hal ini menunjukkan sebagai suatu perkumpulan dari orang-orang yang bersepakat mendirikan sebuah badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas.berhubung dasarnya menggunakan perjanjian, maka tidak dapat dilepaskan dari syarat-syarat yang ditetapkan pasal 1320 KUH Perdata dan asas-asas perjanjian lainnya.
Megenai modal dasar perseroan yang disebutkan terbagi dalam saham, bahwa dari kata “terbagi” dapat diketahui modal perseroan tidak satu atau dengan kata lain tidak berasal dari satu orang, melainkan modalnya dipeca menjadi beberapa atau sejumlah saham. Mengapa demikian, karena hal itu dalam hubungannya dengan pedirian perseroan berdasarkan perjanjian yang berarti modal perseroan harus dimiliki oleh beberapa orang. Dengan demikian dalam suatu perseroan pasti terdapat sejumlah pemegang saham. Para peegang saham pada pprinsipnya hanya bertanggung jawab sebesar nilai saham yang dimasukkan kedalam perseroan.
PERSEROAN TERBATAS
A. DASAR HUKUM PERSEROAN TERBATAS.
Landasan Yuridis keberadaan perseroan terbatas (PT) sebagai badan usaha diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas[32], Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106 Tanggal 16 Agustus 2007, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4756 ( untuk selanjutnya di sebut UUPT). Sebelum munculnya UUPT, landasan yuridis keberadaan PT sebagai badan usaha mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD). Pengaturan PT dalam KUHD dijabarkan dalam Pasal 36 – 56 . Untuk pembahasan selanjutnya tentang PT sebagai badan usaha di fokuskan pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007.
B. PENGERTIAN PERSEORAN TERBATAS
Secara normative pengertian perseroan terbatas (PT) di jabarkan dalam Pasal 1 butir 1 UUPT yang mengemukakan :
“ Perseroan Terbatas, dan selanjutnya disebut perseoran adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegitan usaha dengan modal dasr yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang di tetapkan dalam undang-undang ini serta pengatura pelaksanaannya[33].”
Dari pengertian PT sebagaimana yang dijabarkan di atas, dapat diketahui bahwa PT sebagai kumpulan modal.artinya, dalam badan usaha PT yang utama adalah modal. Modal dibagi dalam bentuk saham. Oleh karena itu, siapa yang menguasai saham paling banyak dalam suatu PT, dialah yang menentukan kebijakan PT. kebijakan bias ditentukan lewat keputusan direksi, komisaris, dan ataupun lewat keputusan rapat umum pemegang saham.
C. PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS
1. Syarat Formal
Yang dimaksud dengan syarat formal disini adalah untuk mendirikan badan usaha PT, harus memenuhi syarat formalitas yang ditentukan dalam UUPT. Jelasnya, dalam pasal 7 ayat (1) UUPT dikemukakan :
“Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris[34] yang dibuat dalam bahasa Indonesia.”
Untuk itu, jika suatu PT tidak didirikan dengan akta notaris, secara yuridis formal tidak sah. Hal ini yang menarik untuk dikaji lebih dalam dari apa yang dijelaskan dalam pasal ini, yakni pendirian PT, paling tidak harus ada dua orang. Jhal ini tampaknya ada kaitannya dengan pengertian PT, seperti yang telah dikutip diatas, yakni suatu perjanjian. Sebagaimana diketahui untuk membuat suatu perjanjian harus ada dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri[35]. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi logis pendirian PT sebagai suatu perjanjian harus ada paling tidak 2 orang. Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (2) UUPT disebutkan :
“Setiap pendiri perseroan wajib mengambil bagian saham[36] pada saat perseroan didirkan.”
Sebagai bukti bahwa pendiri telah mengambil bagian saham, nama pengambil saham dicatat Daftar Buku Pemegang Saham.
2. Syarat Materiil
Yang dimaksud dengan syarat materiil dalam pendirian PT adalah Modal. Artinya, bagaimana wujud modal dalam PT, berapa harus ada modal jika ingin mendirikan PT. dalam UUPT masalah modal telah dijabarkan secara rinci. Jelasnya, dalam Pasal 31 UUPT dikemukakan :
1. Modal dasar perseroan terdiri atas seluruh nominal saham.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup kemungkinan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal[37] mengatur modal perseroan terdiri atas saham tanpa nilai nominal.
Dari ketentuan di atas, dapat diketahui modal dalam PT dibagi dalam pecahan saham dengan nilai nominal tertentu. Sedangkan jumlah minimal modal yang harus ada jika mendirikan PT, dijelaskan dalam pasal 32 UUPT sebagai berikut :
1. Modal dasar perseroan paling sedikit Rp. 50.000.000,00 ( lima puluh juta rupiah)[38]
2. Undang-Undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu[39] dapat menentukan jumlah minimum modal Perseroan yang lebih besar dari pada ketentuan modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
3. Perubahan besarnya modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1),ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
Jika semua persyaratan, baik formal maupun materiil telah di penuhi oleh para pendiri PT, selanjutnya yang harus dilakukan untuk mendapatkan status badan hukum PT adalah mengajukan permohonana pengesahan akta pendirian PT. sebagaimana dijelaskan dalam pasal 9 UUPT, yaitu sebagai berikut :
1. Untuik memperoleh keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (4[40]), pendiri bersama-sama mengajukan permohonan melalui jasa tekhnologi informasi system administrasi badan hukum secara elektronik kepada menteri dengan mengisi format isian yang memuat sekurang-kurangnya :
a. Nama dan tempat kedudukan Perseroan;
b. Jangka waktu berdirinya perseroan;
c. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan;
d. Jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor;
e. Alamat lengkap perseroan.
2. Pengisian format isian sebagai mana dimaksud pada ayat (1) harus didahului dengan pengajuan nama perseroan.
3. Dalam hal pendiri tidak mengajukan sendiri permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pendiri hanya dapat memberi kuasa kepada notaris.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan dan pemakaian nama perseroan di atur dengan peraturan Pemerintah.
Jika PT sudah menjadi badan hukum, keberadaan PT dalam lalu lintas hukum di akui sebagai subjek hukum, artinya PT dapat menuntut dan dituntut di muka pengadilan (Persona Standi Injudicio)
Dalam hal ini, menarik untuk dicermati Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 297/K/SIP/1974 tanggal 12 Januari 1977 yang mengemukakan bahwa belum diumumkannya PT dalam berita negara, tidak lah berarti bahwa PT belum merupakan badan hukum, tetapi pertanggungjawabannya terhadap pihak ke 3 sama seperti Pasal 39 KUHD dan hal ini tidak lah mempunyai akibat hukum bahwa PT tersebut tidak mempunyai persona standi in judiscio[41].
Badan hukum PT dalam melakukan aktivitasnya diwakili oleh pengurusnya. Inilah karakteristik PT sebagai subjek hukum[42]. Oleh karena itu, untuk mengetahui jati diri PT sebagai badan usaha, apakah sudah berstatus sebagai badan hukum perlu dipelajari anggaran dasarnya (AD). Disebut demikian karena fungsi ADPT adalah sebagai hukum positif bagi PT dan pihak yang mengadakan kontrak dengan PT.
ORGAN DALAM PERSEROAN TERBATAS
Dalam Pasal 1 butir 2 UUPT disebutkan:
“Organ perseroan adalah rapat umum pemegang saham, direksi dan komisaris.”
1. Rapat Umum Pemegang Saham
Jika dicermati secara saksama UUPT, dapat disimpulkan rapat umum pemegang saham (RUPS) adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan. Ternyata dalam pasal 1 butir 4 UUPT disebutkan:
“Rapat umum pemegang saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidk diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.”
2. Komisaris
Organ lain yang tidak kalah penting adalah komisaris. Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan kepada direksi dalam menjalankan perseroan. Tepatnya dalam Pasal 1 butir 6 UUPT disebutkan:
“Dewan komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada direksi.”
Apa saja yang harus dilakukan oleh dewan komisaris, dijabarkan dalam Pasal 108-21 UUPT.
3. Direksi
Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar perseroan terbatas. Dalam Pasal 1 butir 5 UUPT disebutkan:
“Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai denganmaksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.”
Dengan demikian, direksi PT adalah:
1. Wakil PT di dalam dan di luar pengadilan
2. Bertanggung jawab atas pelaksanaan tujuan PT
3. Wajib membuat daftar pemegang saham.
Tugas-tuigas apa saja yang harus dilakukan oleh direksi, hal ini dijelaskan daam pasal 92-107 UUPT.
Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1998 tentang Pemakaian Nama Perseroan dalam Pasal 1 disebutkan, Nama perseroan terbatas yang selanjutnya disebut nama perseroan adalah nama diri perseroan yang bersangkutan. Perkataan perseroan terbatas disingkat dengan PT.
[1] Lihat, misalnya, R. A. Koesnoen. Wetboek van Koophandel (WvK). Diterjemakan degan kitab undang-undang hukum perniagaan. Bandung: Sumur Bandung. 1961. Lahat juga M. H. Pokok-Pokok Hukum Perniagaan. Jakarta: Djambatan, 1963.
[2] Perlu dikemukakan disini bahwa pengertian pedagang dan bukan pedagang diatur adlam Pasal 2-5 KUHD dicabut berdasarkan Stb. 1938 Nomor 276 pada tanggal 17 juli 1939
[3] Achmad Ichsan. Hukum Dagang. Jakarta: Pradnya Paramita, 1987, h. 17. Dalam kesempatan lain, Achmad Ichsan dalam bukunya Dunia Usaha Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita, 1986. Pad halaman 76 dikemukakan, pengertian dagang atau niaga dan usaha dalam arti bedrijf. Didalm hukum kita berbicara tentang hkum dagang atau hukum niaga, tetapi bukan hukum usaha. Perhatiakan misalnya, Wet Boek van Koophandel (kitab undang-undang hukum dagang KUHD). Hal ini ada kaitannya dengan pergantian istilah hendel menjadi bedrijf. (1 januari 1935). Dengan demikian, berbicara tentang hukum dagang atau hukum niaga, maka yang dimaksudkan adalah hukum yang mengatur soal-soal yang berhubungan dengan perdagangan atau perniagaan, usaha atau kehidupan dalam dunia usaha (bedrijf-sleven)
[4] R. Soekardono. Hukum Perdata Dagang Indonesia. Jakarta: Soeroengan, 1963, h. 6. Lihat juga R. Soekardono. Hukum Dagang Indonesia. Jilid I (Bagian Perdana). Cetakan Ke-7. Jakarta: Dian Rakyat, 1977. Pada h. 1. Ada catatan kaki yang cukup menarik dikemukakan oleh R. Soekardono, nama lain dari dagang adalah perniagaan. Nama resmi seperti ini, antara lain, dipakai dalam Tambahannya tanggal 15 Desember 1953 Nomor 759 adalah Buku Undang-Undang Perniagaan. Akan tetapi, saya (R. Soekardono) lebih menyukai nama kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Hanya cukup sayang, dalam catatan kaki tersebut tidak dijelaskan apa alasan mengapa lebih senang menggunakan istilah dagang.
[5]Andrea. Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia. Edisi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Saleh Adwinata dkk. Bandung: Bina Cipta: 1983, h. 10
[6] H.M.N. Purwosutjipto, op.cit., h.5.
[7] Sri Redjeki Hartono: Kapita Selekta Hukum Ekonomi. Editor: Husni Syawali dan Neni Sri imaniyati. Bandung: Madar Maju, 2000, h. 9.
[8] J. van Kan dan J. H. Beekhuis (penterjemah: Moh. O. Masdoeki), op, cit,. H. 39. Perhatikan juga istilah yang digunakan dalam KITLV. Handelsrect-Hukum Dagang. Leiden: 2000, h. 27. Hukum Dagang atau Hukum Perniagaan.
[9] M. H. Tirtaamidjaja. Pokok-Pokok Hukum Perniagaan. Jakarta: Djambatan, 1962, h. 6.
[10] KMRT. Titodiningrat. Ichtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, cetakan kedelapan. Jakarta: Pembangunan, 1963, h. 113
[11] Ridwan Khairandy (dkk.) Pengantar Hukum Dagang Indonesia I. Yogyakarta: Pusat Studi Hukum FH UII-Gama Media, 1999, h. 1
[12] John E. Murray Jr. dan Harry M. Flechtner. Sales, Leases and Electronic Commers; Problems and materials on National and Internasional Transaction. Second Edition. USA:West Group, 2003,h.1
[13]Clayton P. Gillette and Steven D. Walt. Sales Law Domestic and Internasional. New York: Faundation Press, 1999, h 1.
[14] Iwan R. Davies. Textbook on Commercial Law. London: Blackstone Press Limited, 1992, h. 4.
[15] Dalam Kurikulum Nasional untuk Fakultas Hukum disebutkan materi kuliah hukum dagang meliputi delapan pokok bahasan, yakni:
1. Sejarah Hukum Dagang
2. Pengertian Umum Hukum Dagang
3. Kontrak Dagang
4. Pelaku Dagang
5. Perantara Dagang
6. Perbuatan Melawan Hukum Dagang
7. Penyelesaian Sengketa Dagang
8. Kepailitan, Penundaan Pembayaran Utang dan Likuidasi Perusahaan
(lihat: C. Ria Budiningsih, dkk, Evaluasi Mata Kuliah Hukum Dagang DI Fakultas Hukum Unpar. Bandung: Lembaga Penelitian Unpar, 1998, h. 11.
[16] Emmy Pangaribuan Simanjuntak. “Pembaharuan Hukum Dagang Dalam Rangka Pembinaan Hukum Nasional” dalam Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia. Simposium Pembaharuan Hukum Dagang Nasional. Diedarkan Ooleh Bina cipta, Bandung: 1984, h, 17
[17] J. van Kan dan J. H, Beekhuis/Moh. O. Masdoeki.,op.cit.
[18] Prof.R. Soekardono S.H, Hukum Dagang Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, 1993
[19] H.M.N. Purwosutjipto, S.H, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1976
[20] Subekti 1980, hal. 9
[21] sofwan, 1975, hlm. 1
[22] Prodjodikoro, 1975, hlm. 7-11
[23] Mertokusumo, 1986, hlm. 108
[24] Safioedin, 1986, hlm. 96
[25] Adiwimarta, 1983, hlm. 2
[26] Mertokusumo, 1986, hlm. 108
[27] Subekti,1978
[28] Sofwan,1980
[29] Djamali,1984
[30] Syahrani, 1985, hlm.29;Subekti, 1978,hlm.16-17
[31] Bandingkan dengan rumusan perusahaan dalam undang-undang nomor 3 tahun 1982 tentang wajib daftar perusahaan (UU WDP). Dalam undang-undang ini dikemukakan perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan usaha yang bersifat tetap, terus menerus dan berkedudukan di wilayah Republik Indonesia untuk memperoleh keuntungan dan atau laba. (lihat pasal 1 butir b). Lebih rinci masalah WDP akan dibahas dalam Bab VII dalam buku ini. Bandingkan juga dengan pasal 1 butir 1 Undang-Undang No 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba, baik yang di selenggarakan oleh orang-perorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia. Lihat dan bandingkan Sri Redjeki Hartono, istilah menjalankan perusahaan yang merupakan suatu kegiatan yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Kegiatan tersebut harus dilakukan terus-menerus dalam pengertian yang tidak terputus-putus;
b. Kegiatan tersebut dilakukan secara terang-terangan dalam pengertian sah/legal;dan
c. Kegiatan tersebut harus dilakukan dalam rangka untuk memperoleh keuntungan baik untuk diri sendiri maupun orang lain. (Sri Redjeki Hartono. Kapita Selekta Hukum Ekonomi. Editor: Husni Syawali dan Neni Sri Imanayati. Bandung: Mandar Maju,2000, h .41).
[32] Undang-undang ini mengganti dan mencabut Undang-Undang No 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Sebagaimana diketahui Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1995 sendiri mencabut pasal 36-54 KUHD.
[33] Lihat dan bandingkan dengan pengertian PT dalam (eks) Undang-Undan NO 1 Tahun 1995 tentng Perseroan Terbatas. Dalam Pasal 1 butir 1 disebutkan:
“Perseroan terbatas adlah badan hukum yang didiikan berdasarkan perjanjian, mlakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”
[34] Pengertian akta notaris lihat kembali catatan kaki nomor 11 pada Bab II buku ini.
[35] Perhatikan pasal 1313 KUHPdt yang mengemukakan:
“suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain tu lebih.”
[36] Dalam UUPT tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengn saham. Hanya saja, dari pengertian PT seperti yang dijelaskan dalam UUPT, dapat disimpulkan saha adalah bagan dari modal. Dengan kata lain, pemegang sham adalah pemilik PT.
[37] Lihat Undang-Undang NO 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
[38] Bandigkan dengan (eks) Undang-Undang NO 1 Tahun 1995. Modal dasar perseroan paling sedikit Rp 20.000.000,00(dua puluh juta rupiah)
[39] Untuk bidang usaha perbnkan misalnya, jumlah modal yang dibutuhkan lebih besar dari julah ini. Jelasnya, lihat Undang-Undang NO 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang NO 8 Tahun 1998 ttang perbankan.lihat juga peaturan Bank Indonesia (PBI) tentang Pendirian Bank Umum dan Bank Perkreditan
[40] Pasal 7 aya(4) UUPT mengemukakan:
“perseroan memperoleh status badan hukumpada tanggal diterbitkannya keputusan mentri engenai pengesahan bdan hukun erseroan”
[41] Chidir Ali. Yurisprudensi Hukum Dagang. , h. 310. Lihat juga Sudargo Gautama. Komentar Atas UUPT Tahun 1995 NO 1 perbandingan dengan peraturan lama. Bandung:PT Citra Aditya Bakti, 1995,h.9.
[42] Rudy Prasetya.kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas. Bandung:PT Citra Aditya Bakti,1995, h.27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar